Mekanisme yang
baik dalam penegakkan HAM
- Adanya peraturan yang memberikan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia agar mendapat kepastian hukum. Jaminan ini antara lain:
- Pancasila menjamin HAM, terutama sila kedua
- Pembukaan UUD 1945 dalam alinea keempat berupan
1) Di dalam
alinea pertama pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa "kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa".
2) Dalam alinea
kedua, dirumuskan salah satu tujuan kemerdekaan negara kita, yaitu
"mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan m.akmur". Ini
adalah pengakuan hak asasi sosial yang berupa keadilan dan pengakuan hak asasi
ekonomi yang berupa kemakmuran dan kesejahteraan.
3) Alinea
ketiga merupakan pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, yakni "Atas
berkat rahmat Allah Yang MahaKuasa. Ini, adalah penegasan bahwa kemerdekaan
adalah kodrat yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada semua bangsa,
termasuk bangsa Indonesia".
4) Alinea
keempat, dijelaskan tujuan negara Indonesia dan dasar negara Indonesia,
- Amandemen UUD 1945 ke dua, ada titel Bab yang secara eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia, yaitu Bab XA yang berisikan pasal 28A s/d 28J (perubahan pasal 28) meliputi: hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak wanita, dan hak anak.
- UU NO. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang secara garis besar sama dengan yang ada pada UUD 1945. Justru ketika UUD 1945 dibuat UU ini sudah lebih dulu ada.
- Peraturan HAM lainnya, antara lain:
1) Undang-Undang
RI No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan.
2) Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak
(Convention on the Rights of the Child).
3) Majlis Umum
PBB dalam sidangnya yang ke 44 pada bulan Desember 1989 telah berhasil menyepakati
sebuah Resolusi yakni Resolusi MU PBB No. 44/25 tanggal 5 desember 1989 tentang
Convention on the Rights of the Child.
2. Adanya alat
Negara yang dibentuk untuk penegakkan HAM
a. KOMNAS HAM.
a. KOMNAS HAM.
Komisi Nasional
(Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Kepres No. 50 Tahun 1993 sebagai
respon (jawaban) terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia
internasional perlunya penegakan HAM di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya
UURI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM
( Bab VIII, pasal 75 s/d. 99) maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres
tersebut harus menyesuaikan dengan UURI No.39 Tahun 1999. Tujuan Komnas HAM
"untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai
dengan Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia". Selain itu,
"meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi
manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan".
Mekanisme
penegakkan HAM sesuai kewenangan KOMNAS HAM, adalah sebagai beriku
- Setiap orang yang mengetahui atau memiliki alasan kuat bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi atau hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis kepada Komnas HAM. Pengaduan tersebut hanya akan dilayani apabila disertai identitas pengadu dan bukti awal yang jelas mengenai materi yang diadukan itu.
- Apabila pengaduan dilakukan oleh pihak lain, pengaduan tersebut terlebih dahulu mendapat persetujuan orang yang dirugikan atau yang berkepentingan, kecuali pelanggaran HAM tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM. Pengaduan pelanggaran HAM sebagaima dimaksud, meliputi pengaduan melalui perwakilan mengenai pelariggaran HAM yang dialami oleh kelompok masyarakat.
- Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM, tidak dilakukan dan dihentikan apabila:
a) tidak
memiliki bukti awal yang memadai;
b) materi
pengaduan bukan masalah pelanggaran HAM;
c) pengaduan
diajukan dengan itikad buruk atau temyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d) terdapat
upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan;
e) Sedang
berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud, diatur dalam peraturan tata tertib Komnas HAM. Dalam melakukan pemeriksaan atau penyelidikan terhadap laporan atau pengaduan pelanggaran HAM dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan indentitas pengadu atau pelapor serta pihak yang terkait dengan materi pengaduan dan laporan. Komnas HAM juga dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
- Dalam rangka mencari kejelasan tentang adanya pelanggaran HAM, pemeriksaan atas pelanggaran tersebut harus dilakukan secara tertutup. Oleh karena itu, bagi pengadu, korban, dan saksi atau pihak lainnya yang terkait, apabila dipanggil oleh Komnas HAM wajib memenuhi permintaan/panggilan tersebut. Apabila kewajiban tersebut dilalaikan atau menolak memberikan keterangan, Komnas HAM dapat meminta bantuan ketua pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Melakukan pemeriksaan atas pelanggaran HAM, Komnas HAM menunjuk/membentuk tim sebagai mediator. Tugas mediator selain mengadakan pemeriksaan, juga mencari penyelesaian secara damai, berupa kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh para pihak serta dikukuhkan oleh mediator yang telah ditunjuk. Apabila kesepakatan tersebut telah tercapai, keputusan itu akan mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
- Dalam hal keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam keputusan yang telah dibuat, pihak lainnya dapat meminta kepada pengadilan negeri setempat agar keputusan yang telah disepakati, dinyatakan dapat dilaksanakan dengan membubuhkan kalimat: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Atas permohonan ini, pengadilan harus mengabulkan atau tidak dapat menolaknya.
- Dalam rangka melaksanakan kewajibannya atau tugas-tugasnya, Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya serta kondisi HAM serta perkara-perkara yang ditanganinya kepada DPR dan presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
b. b. KOMISI
NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Kepres No. 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
c. c. LSM
PRODEMOKRASI DAN HAM
- Di samping lembaga penegakkan HAM yang dibentuk oleh pemerintah, masyarakat pun mendirikan berbagai lembaga HAM. Lembaga HAM bentukan masyarakat terutama dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (Non Governmental Organization) yang programnya berfokus pada demokratisasi dan pengembangan HAM (LSM Prodemokrasi dan HAM ). Yang termasuk LSM ini antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat).
d. d.
PENGADILAN HAM
- Undang-Undang No. 26 tahun 2000 menjelaskan tentang pengadilan HAM sebagai berikut: Pengadilan HAM adalah "pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat".
3. Adanya
kesadaran masyarakat dalam menaati HAM
contoh kasus yang sehubungan dengan pelanggaran HAM
dan bagaimana penyelesaiannya
Contoh kasus:
Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat khususnya hak atas
kesehatan. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio, serta
penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk, kelaparan,
dan busung lapar.
Tahun 2005 merupakan tahun yang memprihatinkan bagi
pemenuhan hak-hak dasar masyarakat khususnya hak atas kesehatan. Persoalan
dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio, serta penyakit yang
berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk, kelaparan, dan busung
lapar.
· Kasus-kasus penyakit yang berkaitan dengan gizi ini,
meskipun secara kuantitas banyak terjadi di wilayah Indonesia Barat. Namun
secara kualitas, apabila diperbandingkan dengan prosentase jumlah penduduk di
masing-masing wilayah, prevalensi kasus yang terjadi di wilayah timur
Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Sulawesi lebih tinggi disbanding
di wilayah lain. Wilayah ini pada umumnya memiliki infra struktur yang sangat
minim, tingkat kesejahteraan yang rendah serta jumlah prosentasi keluarga
miskin diatas 30%.[1]
· Kasus busung lapar yang dilaporkan di wilayah
Indonesia bagian timur terutama menimpa wilayah dimana prosentase produksi
beras dibandingkan dengan kebutuhan pangan tidak memadai, seperti di wilayah
Gorontalo ( 1022 kasus), Papua (1155 kasus). Selain itu tingginya prevalensi
busung lapar juga berkaitan dengan tingginya prosentase keluarga miskin,
seperti di wilayah NTT yang prosentase keluarga miskinnya mencapai lebih dari
60% sementara kemampuan produksi pangan (beras) juga rendah dibandingkan dengan
tingkat kebutuhan pangan di wilayah ini[2].
· Hasil amatan ELSAM atas laporan kasus berkaitan dengan
gizi dari pemberitaan 7 media masa sepanjang tahun 2005 mencatat sekurangnya
sebanyak 1 091 474 orang bermasalah dengan gizi, yang tersebar di 73 kabupaten
di seluruh nusantara. Sebaran kasus ini beragam mulai dari kurang gizi, gizi
buruk sampai busung lapar. Dari total kasus yang terekam oleh media sepanjang
tahun, tercatat beberapa kasus yang berakhir dengan kematian. Sekurangnya 61
orang meninggal dunia dalam berbagai kasus yang tersebar di sekurangnya 73
kabupaten, dengan prevalensi kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur.
Penyebaran Gizi Buruk dan Busung Lapar di
Propinsi-Propinsi Non Konflik
Wilayah
|
Angka Balita di bawah lima tahun.
|
Penderita Kurang Gizi
|
Penderita Gizi Buruk
|
Penderita Busung Lapar.
|
Korban Meninggal
|
Penyebaran Di Tingkat Kabupaten/Kota
|
Jumlah Kabupaten
|
NTT
|
55.543
|
85.604
|
12.925
|
451
|
50
|
16 Kabupaten:
Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Sumba
Barat, Kupang
|
16
|
NTB
|
910
|
847
|
21
|
Lombok Timur, Lombok Barat, Dompu, Lombok Tengah,
Mataram
|
4
|
||
JTG
|
367
|
13.376
|
34
|
26
|
Tegal, Semarang, Kota Semarang, Rembang, Boyolali,
Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang dan
Pekalongan
|
12
|
|
JBR
|
148.120
|
61.805
|
18.136
|
140
|
1
|
Cirebon, Cianjur, Bogor, Indramayu, Cibinong,
Karawang, Bandung
|
7
|
Banten
|
14.338
|
7.454
|
175
|
13
|
Lebak, Serang, Tangerang
|
3
|
|
SMU
|
2928
|
643
|
4
|
Gunungsitoli (P.Nias)
|
1
|
||
JTM
|
5
|
1.700
|
6.000
|
37
|
1
|
Kota Surabaya, Kediri, Situbondo,
Bangkalan, Wonogiri, Ponorogo, Lamongan, Blitar, Bondowoso
|
10
|
LPG
|
287
|
176
|
2
|
Tanggamus
|
1
|
||
RIAU
|
567.545
|
11.000
|
12
|
2
|
Bengkalis
|
1
|
|
SMS
|
1.638
|
||||||
SLS
|
144.075
|
59
|
Kota Makasar, Takalar , Makassar, Pinrang,
Maros, Lutra, Selayar, Gowa, Bone, Luwu, Soppeng, Pangkep, Wajo, Rejang
Lebong dan Parepare
|
15
|
|||
DIY
|
220.006
|
1000
|
Bantul, Yogyakarta, Sleman, Kodya,
Kulonprogo, Gunungkidul
|
6
|
|||
KLB
|
105
|
Sambas
|
1
|
||||
DKI Jakarta
|
8.007
|
8.579
|
1.355
|
Koja-Jakut, Jakarta Barat, Jakpus
|
3
|
||
JBI
|
272
|
Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat
Batanghari,
|
6
|
||||
BKL
|
233
|
5
|
|||||
KLTG
|
72
|
7
|
Sukamara, Kotawaringin Timur, Kapuas,
Barito Timur, Kota Palangkaraya
|
5
|
|||
SLTG
|
1
|
Kendari
|
1
|
||||
Jumlah seluruh
|
1.146.669
|
173.951
|
73.644
|
1.705
|
123
|
93
|
Apabila data ini mendekati kebenaran, setidaknya
separuh dari total populasi Indonesia bermasalah dengan gizi. Dengan demikian,
berbagai pemberitaan mengenai busung lapar ataupun kurang gizi lebih merupakan
puncak gunung es dari persoalan hak atas kesehatan yang sejauh ini seperti
tersembunyi di bawah permukaan.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan gizi buruk terjadi
di wilayah yang memiliki karakteristik yang mirip, yaitu, secara umum, daerah
dengan prevalensi masalah gizi memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah.[3]
Karakteristik lain berupa tingginya tingkat ketergantungan pada pemerintah
pusat, serta tingginya prosentase aktivitas ekonomi di bidang pertanian. Kabupaten Timor Timur Selatan, propinsi NTT misalnya, persentase kegiatan
ekonominya digantungkan pada sektor pertanian[4]. Daerah Bantul, di Jawa yang mewakili prevalensi tertinggi kasus-kasus
gizi buruk memiliki karakteristik yang serupa. Dengan prosentase kegiatan
ekonomi terbesar di sektor pertanian, kabupaten Bantul baru mampu membiayai 6%
dari total anggaran pembelanjaan daerahnya. Tingkat ketergantungan pada pusat
ditunjukkan dengan besarnya nilai dana alokasi umum yang dikucurkan, yang
mencapai lebih dari 70% total anggaran daerah yang dibutuhkan.[5]
Solusi
Beberapa langkah jangka pendek
dan respon cepat dilakukan oleh pemerintah melalui koordinasi interdepartemen.
Namun langkah-langkah tersebut lebih bersifar kuratif, seperti dalam menghadapi
penetapan wabah flu burung sebagai kondisi luar biasa. Tindakan lain berupa
pembentukan tim operasi sadar gizi untuk merespon naiknya angka penderita gizi
buruk di NTB, penerapan sistem kewaspadaan dini, perawatan kasus gizi buruk di
Puskesmas dan rumah sakit, serta penyediaan sarana dasar seperti bantuan pangan
dan penyediaan air bersih.[6] Langkah ini diikuti oleh peningkatan alokasi pendanaan untuk perbaikan
gizi masyarakat dengan proyeksi kenaikan lebih dari 10kali lipat untuk tahun
anggaran 2006.[7]
Kasus Pelanggaran HAM
- Pertama, kasus Marsinah . Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada tanggal 3-4 Mei 1993. Aksi ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang menimpa kawan-kawannya Pada 5 Mei 1993 Marsinah `menghilang', dan akhirnya pada 9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan di hutan Wilangan Nganjuk. Perkembangan pengusutan kasus ini menghasilkan keterlibatan 6 anggota TNI-AD dari kesatuan Danintel Kodam, Kopassus, 20 Polri serta I orang Kejaksaan. Namun perlakuan Kodim tidak berhenti pada PHK 13 orang dan matinya Marsinah, karena pada tanggal 7 Mei 1993 masih ada 8 orang buruh PT.CPS di PHK oleh Kodim di markas Kodim.
- Kedua, Kasus Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ujung Pandang, 26 April 1996. Awal dari kerusuhan tersebut bermula pada aksi unjuk rasa mahasiswa UMI terhadap kenaikan tarif angkutan kota (Pete pete) yang membertakan kalangan pelajar dan mahasiswa yang dikenai aturan lebih dari yang ditetapkan Menteri Perhubungan sebesar Rp. 100. Namun sayangnya, aparat keamanan bersikap berlebihan dan represif dalam menghadapi pengunjuk rasa tersebut sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban jiwa di pihak mahasiswa dengan cara menyerbu kampus UMI dan menembak dengan peluru tajam sehingga jatuh korban. Delapan tahun kemudian terulang lagi kasus pelanggaran HAM di UMI. Kasus ini berawal dari aksi unjuk rasa mahasiswa UMI, Sabtu (1 Mei 2004 ) sore di Kampus UMI Makasar, berakhir rusuh. Sebanyak 61 orang luka - luka terkena pukulan dan tembakan aparat kepolisian yang dengan beringas menyerbu masuk ke dalam kampus. Korban umumnya mengalami cedera di bagian kepala karena pukulan dan sebagian lagi akibat terkena tembakan.
- Ketiga, kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah, 23 Juli 1999. Tengku Bantaqiah adalah seorang tokoh ulama terkemuka di Aceh. Kasus ini bermula dari informasi adanya sejumlah senjata di salah seorang tokoh Dayah Bale. Untuk mendalami informasi tersebut pada tanggal 23 Juli 1999, Danrem menugaskan Kasi Intelnya untuk melaksanakan penyelidikan. Operasi ini ternyata mengakibatkan pengikut Tengku Bantaqiah ditembaki oleh aparat setempat. Sebanyak 51 orang termasuk Tengku Bantaqiah tewas. Berdasarkan penyelidikan, sebanyak 24 anggota TNI dinyatakan sebagai tersangka, termasuk di dalamnya Letkol Inf Sudjono. Hilangnya Letkol Inf Sudjono (Kasi Intel Korem O11/Lilawangsa) tentu saja membuat penyelesaian kasus ini menjadi terhambat, karena motivasi pembantaian itu menjadi kabur. Apakah pembantaian itu merupakan kebijakan yang diambil dalam satu kerangka kebijakan mengatasi masalah Aceh ataukah semata-mata karena tindakan yang diambil atas pertimbangan kondisi lapangan.
- Beberapa pelanggaran HAM yang lain yang sedang dituntut oleh masyarakat,untuk diselesaikan melalui Pengadilan HAM antara lain Kasus Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan 4 mahasiswa. Kemudian Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timor Timur yang dintandai dengan praktek bumi hangus, pembunuhan massal di Gereja Suai, pembunuhan di Los Palos, Maliana, Liquisa dan Dili. Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timtim telah di sidangkan lewat Peradilan HAM ad.hoc.
Kasus-kasus
HAM di Aceh, Semanggi, Papua, Trisakti, Timor-Timur, kerusuhan massa dibanyak
tempat di Indonesia dan banyak kasus yang belum terungkap lainnya menuntut
keseriusan pemerintah yang akan datang dalam menegakkan hukum dan HAM. Sebuah
solusi ditawarkan berbagai pihak pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) dengan menyampaikan alternatif penyelesaian permasalahan HAM di Indonesia.
Solusi yang ditawarkan berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) yang dimuat dalam Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (RUU KKR). Solusi ini perlu di tindak-lanjuti karena terbukti
pemerintah tidak memiliki kemampuan dalam melakukan penanganan terhadap
penegakan HAM di Indonesia secara efektif. Usulan terbentuknya KKR secara
formil dimulai dengan dikeluarkannya TAP. MPR No. V/MPR/2000 kemudian
dipertegas dengan Undang Undang Pengadilan HAM yang memuat kewenangan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menangani pelanggaran HAM berat.
Pelanggaran HAM Lama dengan Rekonsiliasi
Polhukam | Kamis, 17 November 2011 03:14 WIB
Metrotvnews.com,
Jakarta: Pengamat
hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Dr Binsar Gultom dari Provinsi Bengkulu
meyakinkan bahwa solusi terbaik untuk mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Indonesia pada masa lalu sebaiknya diselesaikan dengan
rekonsiliasi.
Gultom mencatat beberapa kasus yang termasuk dugaan pelanggaran HAM berat adalah kasus Talangsari, Provinsi Lampung, Trisakti Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 yang telah selesai diselidiki Komnas HAM.
Menurutnya, kasus-kasus tersebut harus diselesaikan lewat Rekonsiliasi (islah/damai) secara nasional. Penyelesaian itu bisa berkaca dari penyelesaian kasus Pelanggaran HAM berat Timor-Timur pascapenentuan pendapat 1999.
Saat itu, penyelesaian ditangani lewat Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Pemerintah Indonesia dan Timor Leste. Hingga kini, kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Bumi Lorosae itu telah selesai dan ditutup tanpa dendam.
Tapi Gultom menekankan proses rekonsiliasi itu harus bisa mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM. Pada saat itulah, negara dan pemerintah atau pelaku pelanggaran HAM berat bertanggung jawab untuk segera memberikan kompensasi, restitusi atau rehabilitasi yang menjadi hak-hak korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM. (MI/*)
Gultom mencatat beberapa kasus yang termasuk dugaan pelanggaran HAM berat adalah kasus Talangsari, Provinsi Lampung, Trisakti Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 yang telah selesai diselidiki Komnas HAM.
Menurutnya, kasus-kasus tersebut harus diselesaikan lewat Rekonsiliasi (islah/damai) secara nasional. Penyelesaian itu bisa berkaca dari penyelesaian kasus Pelanggaran HAM berat Timor-Timur pascapenentuan pendapat 1999.
Saat itu, penyelesaian ditangani lewat Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Pemerintah Indonesia dan Timor Leste. Hingga kini, kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Bumi Lorosae itu telah selesai dan ditutup tanpa dendam.
Tapi Gultom menekankan proses rekonsiliasi itu harus bisa mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM. Pada saat itulah, negara dan pemerintah atau pelaku pelanggaran HAM berat bertanggung jawab untuk segera memberikan kompensasi, restitusi atau rehabilitasi yang menjadi hak-hak korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM. (MI/*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar